Pages

Minggu, 14 September 2014

Kereta, seorang ibu dan kepulanganku





Dengan kereta malam kupulang sendiri
Mengikuti rasa rindu
Pada kampung halamanku
Pada ayah yang menunggu
Pada ibu yang mengasihiku
Kereta jurusan tanah abang sudah mulai mendekat, bunyi kereta yang sedikit asing di telinga, sebab untuk pertama kalinya aku pulang dengan kereta. Akhirnya, setelah genap empat tahun di kota orang merantau kuputuskan untuk kembali, tentu saja kembali ke kampung halaman yang sudah banyak berubah diluar perkiraan, setiap kali ibu dan bapak menelpon mereka selalu bercerita banyak hal, perubahan apa saja yang terjadi di kampung halaman, terutama sekali kondisi rumah kami yang juga banyak berubah semenjak kepergianku, begitu jelas bapak dan ibu. Bagaimana mereka tidak kehilangan aku si sulung yang sejak kecil selalu bersama bapak dan ibu di rumah tiba-tiba saja masuk perguruan tinggi di kota sebrang, dan tak pernah pulang.
Aku sudah membayangkan bagaimana reaksi bapak dan ibu tahu aku pulang, mereka pasti sangat bahagia, sebab sejujurnya aku masih merahasiakan kepulanganku, ya semacam kejutan, tak ada yang tahu, akan kuberitahu setelah aku sampai tepat di depan rumah, itu si namanya bukan memberitahu memang sudah sampai, tak apalah semoga ini bukan kejutan yang membuat sakit jantung bapak jadi kambuh.
Aku pun beringsut dari tempat duduk tunggu, bersiap menaiki kereta jurusan tanah abang, ah seperti apa ya rasanya naik kereta, semua penumpang sibuk mencari gerbong mana mereka duduk, aku pun ikut sibuk, aku bingung bukan main, ini berbeda sekali dengan naik bus, kereta memiliki banyak gerbong, setelah menemukan gerbong yang sesuai dalam tiket, kita masih harus mencari kursi dimana kita duduk. Dan yah setelah beberapa menit yang cukup panjang akhirnya aku menemukan kursi yang sesuai dengan tiket yang diberikan petugas padaku. Syukurlah semua penumpang yang duduk di dekatku adalah perempuan, 2 orang ibu dan 1 orang gadis muda.

Duduk dihadapanku seorang ibu
Dengan wajah sendu sendu kelabu
Penuh rasa haru ia menatapku
Penuh rasa haru ia memandangku
Seakan ingin memeluk diriku
Pertama kali duduk aku merasa ada sesuatu yang aneh, seorang gadis muda duduk tepat di sampingku, dan 2 orang ibu duduk di hadapanku, satu orang ibu sudah tertidur pulas, dan seorang ibu yang duduk tepat dihadapanku entah kenapa menatapku begitu dalam, aku ditelanjanginya dari atas sampai bawah, tapi tatap itu, ada kesedihan yang tersimpan, dan duka yang dalam, entahlah aku sungkan untuk bertanya, apa mungkin parasku begitu menyedihkan sampai si ibu ini merasa miris dan kasihan, wajar saja wajahku begitu suram dan pedih sebab lelah yang sangat seharian mengelilingi kota rantauku untuk terakhir kalinya sebelum aku pulang.
Aku masih merasakan aneh itu, matanya semakin dalam menatapku, airmatanya seolah ingin menetes tapi segan, mungkin tatapan itu, tatapan menahan airmata, tapi mengapa, dan kenapa harus menatapku, dan sampai puncaknya ia tak bisa menahan juga, tetes itu jatuh di pipinya, amat pedih, ada luka yang ia simpan.


Ia lalu bercerita tentang anak gadisnya yang telah tiada
Karena sakit tak terobatiiiii...
Yang wajahnya mirip denganku
Yang wajahnya mirip denganku.
Akhirnya dengan cukup sungkan kuberanikan diri bertanya.
Ibu, kenapa menangis?
Tanyaku canggung.
Ibu tadi diam saja, wajahnya ia tenggelamkan di atas pahanya sambil terdengar sesenggukan yang pelan.
Tak berapa lama kemudian, ia angkat wajahnya lalu diusaplah airmatanya, lalu, yah lalu ia memulai pembicaraan.
Maaf nak, ibu teringat seseorang. Maaf sudah menganggu.
Jawabnya dengan suara yang masih tertahan.
Tidak apa-apa bu, ibu teringat siapa, lalu kenapa ibu menatap saya seperti itu, apa sebelumnya kita pernah bertemu?
Tanyaku memberondol, ah apa aku salah ya bertanya banyak hal seperti ini, kalau tangisnya bertambah gimana.
Posisi duduknya bergeser mendekat padaku, ia usap lagi airmata yang masih menetes itu, lalu ia bercerita.
Saya punya anak gadis, kalau ia masih ada mungkin sekarang seusia adik ini, ia gadis yang baik, cantik dan disukai teman-teman sekolahnya, tapi suatu hari ia sakit dan itu tak pernah ia sampaikan pada saya, sakitnya ia rasakan sendiri, hanya satu orang teman dekatnya yang tahu tentang sakitnya itu, lalu suatu hari anak saya meminta temannya menemaninya pergi ke kota asal bapaknya, kota asal suami saya di palembang, tujuannya Cuma ingin berziarah ke makan bapak, yah suami saya sudah meninggal sejak ia kecil dan dimakamkan di kota lahirnya di palembang. Namun sayang dalam perjalanan ke palembang bus yang ia tumpangi bersama temannya mengalami kecelakaan, temannya koma cukup lama dan anak saya...
Tangisnya mulai membesar, ia tak sanggup lagi melanjutkan bicara.
Ya sudah bu gpp, jangan diteruskan, saya tidak tega melihat ibu menangis.
Dan, anak saya wajahnya mirip denganmu nak, persis sekali, ia juga memakai kacamata, sejak kecil matanya sudah sakit, ia juga ingin berjilbab seperti adik ini tapi dia takut teman-temannya menjauhi dia.
Terjawab sudah heranku, rupanya wajahku mirip anaknya yang sudah tiada.
Malam itu perjalanan pulang menjadi perjalanan yang cukup berkesan buat aku, sampai rumah orang pertama yang akan kupeluk adalah ibu, aku sudah sangat rindu pada ibu dan mendengar cerita dari ibu di kereta ini membuat aku jadi lebih bersyukur karena masih memiliki bapak dan ibu.
Bu, dinda pulang...



150914
Pakpayoon.
Ditulis berdasarkan lagu sulis yang berjudul kereta malam.


0 komentar:

Posting Komentar